Tradisi adat Ngoncang di desa adat Pegadungan, kecamatan Sukasada, kabupaten Buleleng merupakan salah satu tradisi yang masih tumbuh dan hidup di dalam kehidupan masyarakat desa Pegadungan, kecamatan Sukasada, kabupaten Buleleng. Dalam hal ini ngoncang diartikan bahwa kegiatan adat yang dilakukan secara berkelompok yang terdiri dari lima sampai enam orang dalam satu kelompoknya, yang dilakukan dengan cara memukulkan elu ( batang kayu berbentuk bulat memanjang) kedalam ketungan. Dalam pelaksanaanya tradisi ini memiliki aturan dan harus dilaksanakan, meskipun aturan itu tidak tertulis, namun aturan tersebut dilaksanakan secara turun temurun sehingga wajib dilaksanakan.
Tradisi adat ngoncang merupakan wujud kebersamaan dan keharmonisan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesaman manusia dan manusia dengan lingkungannya. Tradisi adat ngoncang dilaksanakan pada saat diadakannya upacara motonan (sapu legar) dan pada saat upacara ngaben (ngaben masal). Tradisi adat ngoncang akan dilaksanakan sebelum dimulai nya suatu upacara.
Dalam pelaksanaan tradisi ngoncang dilaksanakan secara berkelompok dengan memukulkan elu ( batang kayu berbentuk bulat memanjang ) kedalam ketungan (alat penumbuk padi) yang dimainkan secara berirama, dimana dalam irama yang dimainkan mengandung arti yang sakral.
Ketungan adalah alat yang digunakan untuk menumbuk padi menjadi beras pada zaman dahulu. Tradisi ngoncang hanya dapat dilakukan oleh para kaum wanita saja, dimana hal ini karena pada zaman dahulu hanya kaum ibu-ibu yang menumbuk padi menjadi beras, sehingga tradisi ngoncang berawal dari fungsi ketungan pada zaman dahulu. Pada upacara ngaben (ngaben masal) dalaksanakannya tradisi ngoncang adalah karena dipercaya bahwa ngoncang itu sebagai sarana komunikasi kepada para roh-roh leluhur keluarga.
Tradisi adat ngoncang di desa Pegadungan yaitu keyakinan. Bagi masyarakat desa Pegadungan, tradisi ngoncang memiliki tujuan yang sangat diyakini keramat yang mampu memberikan keseimbangan hidup antara sekala dan niskala. Melebur dan menghilangkan mala atau segala sesuatu yang bersifat negatif. Rasa yakin dari setiap warga masyarakat desa Pegadungan muncul karena percaya dengan adanya kekuatan gaib yang menguasai setiap masyarakat untuk terus melaksanakan tradisi ngoncang. Dan akan terjadi sesuatu yang akan mencelakakan apabila berani meniadakan tradisi ngoncang. Tradisi ngoncang dalam kaitannya dengan konsep Tri Hita Karana, yaitu parahyangan (hubungan manusia dengan Tuhan), pawongan (hubungan manusia dengan lingkungan) dan palemahan (huungan manusia dengan manusia). Dalam kaitannya dengan parahyangan, tradisi ngoncang di konsepkan sebagai suatu persembahan yang kita tujukan kepada para leluhur dan para dewa-dewa, bawasannya kita sebagai generasi telah melakukan suatu ritual yang menghantarkan roh para leluhur untuk menuju suatu tempat yang damai di alam niskala.
Masyarakat desa Pegadungan percaya dengan dilaksanakannya tradisi ngoncang akan terjalin hubungan harmanis antara manusia dengan lingkungan, dan apabila tidak dilaksanakannya tradisi ini maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Dan kaitannya dengan palemahan, dalam prosesi ritual ngoncang akan dilaksanakan oleh enam orang ibu-ibu. Disaat ritual dilaksanakan ke enam orang tersebut akan menghentakkan alu kedalam ketungan dengan irama yang serasi yang menandakan satu kesatuan, bawasannya dalam tradisi ngoncang ini dapat menumbuhkan rasa satu kesatuan antara sesama manusia. Rangkaian pelaksanaan tradisi ngoncang ini dibagi dalam dua tahapan, yaitu tahapan persiapan dan tahapan pelaksanaan, dalam tahapan persiapan, yang disiapkan adalah alu dan ketungan. Dan dalam tahapan pelaksanaan, tradisi ngoncang ini pada upacara ngaben akan dilaksanakan pada saat akan dilaksanakan proses pembersian (pemandian mayat) dan akan dilaksanakan pada saat akan dilaksanakannya prosesi mengantarkan mayat ke seme (kuburan). Nilai-nilai yang mendasari tradisi ngoncang ini adalah (1) Nilai sosial, hubungan solidaritas di kalangan anggota masyarakat desa setempat untuk melakukan interaksi antar sesamanya guna menjaga hubungan harmonis merupakan suatu nilai sosial. Dimana dengan nilai sosial tersebut, anggota kelompok akan merasa sebagai satu kesatuan. (2) Nilai budaya, apabila tradisi ngoncang ini tidak dilaksanakan pada saat upacara keagamaan yakni akan lunturnya atau hilangnya nilai budaya yang merupakan warisan dari nenek moyang. (3) Nilai religius, masyarakat desa Pegadungan merupakan desa yang menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan dan keharmonisan menganai hubungan manusia dengan Tuhan (parhyangan), hubungan sesame manusia (pawongan), dan hubungan manusia dengan lingkungannya (palemahan) yang tercermin dalam ajaran Tri Hita Karana. Apabila manusia mampu menjaga hubungan yang seimbang dan harmonis dengan ke tiga aspek-aspek tersebut maka kesejahtraan akan terwujud.
Nilai-nilai religius pada tradisi ngoncang terdapat pada keyakinan masyarakat Desa Pegagungan. Sesuai dengan penuturan Ketut Sukantra yang menuturkan bahwa tradisi ngoncang ini merupakan tradisi yang mutlak harus dilaksanakan pada upacara ngaben (ngaben masal ) dan upacara motonan (sapu lagar). Hal itu jika ditinjau lebih lanjut tradisi ini menurut beliau apabila tidak dilaksanakan pada saat upacara keagamaan maka dapat mengganggu keseimbangan alam di Desa Pegadungan. Sebagai penuturan lebih lanjut dari Ketut Wila selaku penyarikan, menyatakan bahwa masyarakat mempunyai persepsi terhadap tradisi ngoncang ini benar memiliki nilai religious magis yang digunakan sebagai sarana untuk memohon keselamatan dan kedamaian seluruh mahluk hidup di alam semesta ini.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment